Mandat Konstitusi: Dimensi Internasional sebagai Misi Negara
Indonesia sesungguhnya telah memiliki fondasi moral dan konstitusional yang jelas untuk menjadi duta perdamaian dunia. Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyatakan:
“…kemerdekaan ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Lebih lanjut, tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan tidak hanya sebatas melindungi rakyat Indonesia dan memajukan kesejahteraan dalam negeri semata, tetapi juga “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”
Dari sini dua hal muncul secara normatif: (1) Indonesia memiliki legitimasi moral-konstitusional untuk bersuara dan bertindak pada ranah internasional; (2) pendekatannya harus selaras dengan nilai Pancasila — Ketuhanan, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial — sehingga cara bertindak itu harus bermoral (humanis) dan berkeadilan.
Dengan demikian, partisipasi Indonesia dalam diplomasi global bukanlah pilihan tambahan, melainkan bagian integral dari misi kenegaraan yang melekat dalam DNA konstitusi kita.
Momentum Pidato Prabowo di PBB: Dari Retorika ke Aksi
Tanggal 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan berpidato di Sidang Majelis Umum PBB di New York. Dari berbagai laporan, beliau akan menyoroti isu inklusivitas, kerja sama global, dan tatanan dunia yang lebih adil.
Pidato ini bukan sekadar kewajiban diplomatik tahunan, melainkan momentum sejarah. Dunia sedang mencari suara-suara moral yang berani dan konsisten. Sebagai presiden baru, Prabowo punya kesempatan untuk mempertegas posisi Indonesia, yang tidak sekadar “non-blok” dalam arti lama, tetapi pro-keadilan, pro-kemanusiaan, dan pro-perdamaian.
Dunia menunggu sikap Indonesia soal Gaza, soal multilateralisme, soal ketidakadilan global. Apakah kita akan berani menyebut bahwa genosida harus dihentikan? Apakah kita konsisten mengingatkan agar rivalitas blok besar tidak mengorbankan negara-negara kecil?
Di titik inilah, pidato Prabowo bisa menjadi tonggak baru. Ia bisa melanjutkan warisan Bung Karno dan Gus Dur dalam diplomasi moral, sekaligus menegaskan bahwa Indonesia abad ke-21 siap menjadi jembatan perdamaian, bukan sekadar penonton sejarah.
Act Now: Dari Retorika ke Perjuangan Nyata
Hari Perdamaian Dunia bukanlah ritual tahunan. Ia adalah panggilan bertindak. Bung Karno dalam Di Bawah Bendera Revolusi pernah menulis: “Perdamaian bukanlah berarti tiadanya perjuangan. Perdamaian adalah hasil dari perjuangan tiada henti menegakkan keadilan.”
Perdamaian sejati hanya bisa lahir dari keberanian menolak ketidakadilan, melawan penjajahan dalam segala bentuknya, dan membangun solidaritas lintas bangsa. Di sinilah peran Indonesia diuji.
Presiden Prabowo punya kesempatan emas. Jika ia mampu menjadikan konstitusi sebagai kompas, Pancasila sebagai moral, dan pengalaman sejarah Indonesia sebagai pijakan, maka pidato di PBB bukan hanya rangkaian kata-kata, melainkan sumbangsih nyata untuk perdamaian dunia.
Karena pada akhirnya, perdamaian bukan milik elit politik atau monopoli bangsa besar. Perdamaian adalah hak setiap anak yang berhak tertawa tanpa rasa takut, hak setiap keluarga yang ingin hidup tanpa teror bom, dan hak setiap bangsa untuk menentukan masa depannya tanpa penindasan.
Act now for a peaceful world. Mulailah dari Indonesia.
Penulis :
Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
