APBN 2026, Antara Janji Populis dan Risiko Fiskal?

Arif Ardliyanto
Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, S.E., M.Si. Guru Besar Universitas Ciputra Surabaya dan Ketua Persatuan Gurubesar/Profesor Indonesia (DPD Pergubi) Prop. Jawa Timur. Foto iNewsSurabaya/ist

SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Catatan menentukan nasib Indonesia diukir pada tanggal 23 September 2025, DPR RI mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Nilainya fantastis: belanja negara Rp 3.842,7 triliun dengan pendapatan Rp 3.153,6 triliun. Defisit pun menembus Rp 698,2 triliun atau 2,68% PDB yang masih di bawah batas legal 3%. Di atas kertas, semuanya terlihat “aman”. Namun, aman di angka belum tentu menjawab kekhawatiran publik: bagaimana arah bangsa ini dibawa?

Jika APBN 2025 masih kental dengan pembangunan infrastruktur fisik, maka 2026 menunjukkan pergeseran. Pemerintah menempatkan delapan agenda prioritas: ketahanan pangan, ketahanan energi, makan bergizi gratis (MBG), pendidikan, kesehatan, pembangunan desa & UMKM, pertahanan, serta akselerasi investasi.

Alokasi pendidikan menembus Rp 757,8 triliun atau 20% dari APBN sesuai amanat konstitusi. Sementara program baru MBG mendapat kue jumbo Rp 335 triliun. Pertahanan melonjak 36,7% menjadi Rp 335,3 triliun. Ada pula program Koperasi Merah Putih senilai Rp 83 triliun, ditambah dana desa Rp 60,6 triliun. Sebaliknya, anggaran IKN justru dipangkas, dari Rp 39,6 triliun (2025) menjadi Rp 6,26 triliun (2026). Pergeseran ini jelas: orientasi negara bergeser dari beton dan baja menuju sosial, SDM, dan pertahanan.

Risiko di Balik Angka

Namun, di balik program ambisius, ada harga mahal: utang baru Rp 781,9 triliun. Beban bunga saja menembus Rp 599,4 triliun, naik 20% dari tahun lalu. Artinya, hampir seperenam APBN hanya habis untuk membayar bunga. Rasio utang terhadap PDB naik ke 39,96%. Masih di bawah batas aman 60%, tetapi tren meningkat mempersempit ruang fiskal.

Publik mulai khawatir. Bagaimana jika utang produktif berubah menjadi beban yang menjerat generasi mendatang? Apalagi ada isu klasik (data non Audit): kebocoran APBN menurut Indef pernah menyebut potensi kebocoran mencapai 30–40%. Jika benar, maka sekitar Rp 1.100 triliun dana APBN bisa “lenyap” tanpa manfaat nyata dan siapa menikmatinya?

Janji Populis atau Investasi Jangka Panjang?

Program MBG Rp 335 triliun mungkin terdengar indah untuk anak-anak makan sehat, gizi tercukupi, kenyang dan masa depan cerah namun kita mendengar di berita yang beredar siswa kita banyak keracunan makanan dan mual namun justru yang “dikenyangkan” konon oknum anggota DPR RI yang punya bisnis dapur MBG sesuai berita yang kita dapat dari media dimana Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengakui bahwa ada anggota DPR & DPRD yang memiliki “dapur MBG” atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang ikut sebagai mitra dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG). Begitu pula koperasi desa yang menjanjikan permodalan murah bagi rakyat. Namun, publik berhak bertanya: apakah dana sebesar itu akan dikelola efektif, tepat sasaran, dan bebas korupsi?

Sejarah menunjukkan bansos dan subsidi kerap bocor, data penerima tidak valid, hingga kasus korupsi berjamaah. Tanpa pengawasan ketat, program populis hanya akan menjadi “pesta” sesaat yang menyisakan beban fiskal.

Apa Manfaat Konkret bagi Rakyat?

Meski penuh risiko, APBN 2026 tetap memberi harapan. Petani dan nelayan dijanjikan akses pupuk, benih, dan pembiayaan murah. UMKM mendapat kredit ringan dan pelatihan. Guru dan dosen memperoleh tambahan kesejahteraan melalui anggaran pendidikan. Infrastruktur dasar: jalan, air bersih, sanitasi tetap masuk pos belanja.

Jika benar dijalankan efektif, rakyat bisa merasakan langsung manfaat: biaya hidup lebih ringan, layanan publik membaik, akses pendidikan dan kesehatan semakin luas.

Tiga Titik Rawan

Utang dan bunga: pembayaran yang terus meningkat bisa menyedot dana produktif, Efektivitas program baru: MBG dan koperasi butuh tata kelola rapi tanpa itu akan gagal dan Risiko kebocoran: pengadaan barang/jasa, bansos, dan transfer daerah masih rawan praktik korupsi.

Jalan Tengah yang Diperlukan

Untuk menjawab keraguan publik, pemerintah harus melakukan empat hal:

Transparansi total melalui digitalisasi anggaran (e-budgeting, e-procurement), Audit independen khusus untuk program besar seperti MBG dan koperasi, Pengawasan publik dengan melibatkan media, masyarakat sipil, dan akademisi dan Evaluasi berbasis outcome, bukan hanya serapan anggaran.

Dengan begitu, APBN tidak hanya menjadi angka-angka indah di kertas, tetapi juga alat nyata memperkuat pondasi ekonomi kerakyatan. APBN adalah senjata pamungkas negara untuk menaklukkan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

APBN 2026 bisa menjadi tonggak penguatan fundamental ekonomi jika dijalankan dengan disiplin, transparansi, dan akuntabilitas. 

Pada akhirnya, rakyat menunggu jawaban: apakah uang Rp 3.842 triliun benar-benar kembali dalam bentuk pelayanan publik yang lebih baik, atau hanya menjadi deretan angka yang tidak pernah menyentuh kehidupan sehari-hari. APBN adalah janji negara yang ditulis dengan angka, dijalankan dengan kejujuran kerja, dan dibayar dengan mewujudkan kesejahteraan rakyat semesta.

Penulis :
Prof. Dr. Murpin Josua Sembiring, S.E., M.Si. Guru Besar Universitas Ciputra Surabaya dan Ketua Persatuan Gurubesar/Profesor Indonesia (DPD Pergubi) Prop. Jawa Timur

 

Editor : Arif Ardliyanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network