Menurut Rasman, sempadan pantai sejatinya bukan sekadar garis batas administratif, melainkan zona penyangga ekologis. Ketika fungsi ini diabaikan, konsekuensinya bersifat domino: garis pantai tergerus, frekuensi banjir rob meningkat, sampah laut masuk ke kawasan hunian, dan dalam jangka panjang justru menghambat pembangunan berkelanjutan.
HAPPI menilai penguatan regulasi melalui PP menjadi langkah mendesak karena memiliki daya ikat hukum yang lebih kuat, sekaligus membuka ruang penegakan hukum dan sanksi yang lebih tegas. Dengan payung hukum nasional, tumpang tindih aturan bisa dipangkas dan kebijakan sektoral diselaraskan dalam satu kerangka besar.
“Kalau sudah berbentuk Peraturan Pemerintah, maka seluruh peraturan menteri teknis dapat diintegrasikan dan bersifat mengikat,” jelasnya.
Saat ini, ketentuan yang berlaku menetapkan jarak sempadan pantai sejauh 100 meter. Namun, HAPPI menilai standar tersebut perlu dikaji ulang secara ilmiah dengan mempertimbangkan karakteristik geomorfologi, tingkat risiko bencana, serta tekanan pemanfaatan ruang di tiap daerah. Kajian inilah yang menjadi salah satu fokus utama dalam penyusunan Naskah Akademik.
Surabaya dipilih sebagai lokasi FGD pertama karena posisinya sebagai salah satu pusat ekonomi nasional sekaligus contoh nyata tingginya tekanan pembangunan pesisir. Ke depan, HAPPI juga berencana menggelar FGD lanjutan di Makassar, guna menyerap perspektif kawasan timur Indonesia yang memiliki karakter pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbeda.
Naskah Akademik ini ditargetkan rampung akhir 2025 dan akan diajukan sebagai bahan pertimbangan resmi kepada pemerintah pusat. HAPPI berharap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang sempadan pantai dapat mulai dibahas pada 2026, sebagai fondasi baru tata kelola pesisir yang lebih adil, berkelanjutan, dan minim konflik lintas sektor.
“Kalau payung hukumnya cepat ada, ini bisa menjadi pegangan kuat bagi pemerintah daerah dalam mengelola wilayah pesisir,” pungkas Rasman.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
