SURABAYA, iNews.id – Pendidikan yang layak memang menjadi empian setiap anak. Impian tersebut pun tak semua terwujud dengan indah, banyak anak yang harus kandas melanjutkan sekolah lantaran faktor ekonomi.
Fakta ini disadari pemangku kebijakan, hanya saja egosentris pemangku kebijakan yang berlebihan memakan korban anak-anak. Perpindahan pengelolaan SMA/SMK dari Kabupaten/Kota ke Provinsi menjadi salah satu faktor maraknya anak yang terancam putus sekolah. Kabupaten/Kota merasa anak-anak yang masuk jenjang SMA/SMK bukan lagi tanggung jawabnya, karena sudah dikelola Provinsi.
Pemangku kebijakan di Kabupaten/Kota tidak bisa disalahkan, sesuai UU 23/2014 tentang peralihan pengelolaan SMA/SMK memang menjadi tanggung jawab Provinsi. Sementara Provinsi tidak mampu untuk mengelola dan membiayai pelajar-pelajar SMA/SMK secara keseluruhan. “Jadi butuh sinergi antara Kabupetan/Kota dan Provinsi. Mereka harus terbuka melakukan sinergi untuk pembiayaan,” ujar Isa Ansori, Anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur.
Untuk bisa saling terbuka, Isa meminta setiap daerah menentukan besaran standar biaya pendidikan minimal mutu. Dari kesepakatan ini, lanjut dia, nanti akan ketemu sinergitas bantuan yang bisa teralokasikan untuk pelajar-pelajar. “Kekurangannya bisa dimintakan ke partisipasi masyarakat dalam hal ini komite sekolah,” ungkapnya.
Jika ini tidak dilakukan, Isa yakin persoalan-persoalan seperti Aditya Candra Glori Semesta, salah satu pelajar di Sidoarjo terpaksa harus menjadi pemulung tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ia ingin nekat mendapatkan pendidikan yang lebih baik, meski harus memungut barang-barang bekas dari rumah ke rumah.
Editor : Arif Ardliyanto