Sementara itu, Undang-undang Hak Cipta No 28 tahun 2014 jelas mengatur bahwa “penggunaan atau pendistribusian suatu karya cipta baik itu sebagian maupun keseluruhan haruslah seizin dari pemegang hak cipta, yaitu penulis dan penerbit.
Dalam hal ini, melalui kontrak yang ditandatanganinya, penulis mengalihkan kuasa hak eksklusif dan hak ekonominya ini kepada penerbit.
"Artinya, jika suatu karya dipergunakan dalam kegiatan membaca nyaring, baik itu oleh perseorangan maupun lembaga, lantas penulis memberikan izin pribadinya, maka ada pemegang hak cipta lain yang izinnya tak boleh diabaikan penerbit selaku pemegang kuasa hak cipta," kata Winda.
Selain itu, jika merujuk pada undang-undang Hak Cipta pasal 51, maka penyebarluasan isi karya melalui bentuk pengumuman, pendistribusian, maupun komunikasi atas ciptaan wajib memberikan imbalan kepada pemegang hak cipta.
Mungkin bagi sebagian besar masyarakat, kata ‘imbalan’ ini lantas secara negatif diasosiasikan dengan jargon profit-oriented (mencari keuntungan semata).
Tambahan pula, kegiatan berbau edukatif semacam ini sering kali diromantisasi dengan kata ikhlas, gratis, dan sukarela, sehingga ketika ada pihak yang menuntut hak, maka hal tersebut dianggap tabu dan tak pantas.
Editor : Ali Masduki