SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Selfie (41), warga Sidoarjo, pelapor kasus penipuan dan penggelapan ekspor barang-barang usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Jatim, kembali mendatangi Polda Jawa Timur (Jatim), Senin (27/2/2023).
Kedatangan Selfie masih sama, yakni menanyakan perkembangan kasus penipuan dan penggelapan yang hingga kini belum ada kejelasan terkait penangkapan dua terlapor berinisial DTJ warga Australia, dan CS warga Indonesia yang sudah ditetapkan tersangka dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Selfie yang terus memperjuangkan kasusnya, harus rela mondar-mandir Sidoarjo -Surabaya sendirian demi meminta kejelasan penanganan kasusnya yang sedang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim.
"Saya mondar-mandir Sidoarjo-Surabaya sendirian untuk menanyakan sejauh mana perkembangan kasus saya. Sudah 6 tahun belum ada kejelasan. Tersangka yang sudah masuk DPO juga belum tertangkap," ungkap Selfie seraya kecewa, Selasa (28/2/2023).
Pekan lalu, lanjut Selfie, dirinya kembali berupaya menanyakan ke penyidik hingga Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jatim, namun lagi-lagi jawabannya masih sama. Yakni menunggu dari pihak Divhubinter.
"Saya pekan lalu pada hari Jumat, menemui penyidik hingga Direkturnya namanya Pak Totok. Tapi belum ada perkembangan signifikan. Jawabannya sama masih menunggu. Terus sampai kapan menunggunya juga tidak dijelaskan," selorohnya.
Yang mengherankan, kata Selfie, ketika dirinya meminta surat SP2HP terkait perpanjangan Red Notice dari DTJ yang disampaikan penyidik masih berlaku hingga 2024.
Selain itu, pelaporan Divhubinter ke imigrasi Australia di Perth akan habisnya masa berlaku dari paspor CS Penyidik enggan memberikan. Padahal SP2HP adalah hak pelapor dan hal ini telah dibahas ketika menghadap dihadapan Pak Direktur Reskrimum hari Selasa 21/2/2023 lalu.
"Katanya sudah bekerja maksimal. Tapi ketika diminta buktinya tidak mau ngasih. Harusnya itu hak saya sebagai pelapor untuk diberikan SP2HP sebagai bukti perkembangan apa yang sudah dilakukan oleh penyidik. Dan itu diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia," tegasnya.
"Tuntutan saya sebagai pelapor, saya meminta ada kejelasan terkait perpanjangan Red Notice dari tersangka DTJ yang disampaikan oleh penyidik bahwa masa berlakunya hingga 2024. Kedua, pelaporan Divhubinter ke imigrasi Australia di Perth akan habisnya masa berlaku dari paspor tersangka CS. Dan itu ketika saya minta SP2HP nya, tidak diberikan," pintanya.
Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 39 ayat 1, berbunyi dalam hal menjamin akuntabilitas dan transparansi penyidikan, penyidik wajib memberikan SP2HP kepada pihak pelapor baik diminta atau tidak diminta secara berkala paling sedikit 1 kali setiap 1 bulan.
SP2HP sekurang-kurangnya memuat tentang:
1. Pokok perkara;
2. Tindakan penyidikan yang telah dilaksanakan dan hasilnya;
3. Masalah/kendala yang dihadapi dalam penyidikan;
4. Rencana tindakan selanjutnya; dan
5. Himbauan atau penegasan kepada pelapor tentang hak dan kewajibannya demi kelancaran dan keberhasilan penyidikan.
SP2HP yang dikirimkan kepada pelapor, ditandatangani oleh Ketua Tim Penyidik dan diketahui oleh Pengawas Penyidik, tembusannya wajib disampaikan kepada atasan langsung.
SP2HP merupakan layanan kepolisian yang memberikan informasi kepada masyarakat sampai sejauh mana perkembangan perkara yang ditangani oleh pihak Kepolisian. Sehingga dengan adanya transparansi penanganan perkara, masyarakat dapat menilai kinerja Kepolisian dalam menangani berbagai perkara tindak pidana yang terjadi di masyarakat.
"Itu sudah jelas aturannya. Untuk itu saya mohon Pak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo atau Pak Kapolda Jatim Irjen Toni Harmanto, kasih kejelasan nasib saya. Saya akan bersurat ke beliau," pintanya.
Untuk diketahui, Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana yang diterbitkan pada tanggal 4 Oktober 2019, perkap ini sebagai petunjuk acuan pelaksanaan mengenai penyidikan tindak pidana agar Penyidik Polri dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang secara profesional, transparan dan akuntabel.
Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap) ini merupakan penyempurnaan dan penyesuaian dengan pekembangan hukum, pengganti Perkap 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yang telah dicabut dengan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 06 tahun 2019 tentang Pencabutan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Sebelumnya, Kasubdit Renakta Ditreskrimum Polda Jatim, AKBP Hendra Eko Triyulianto saat dikonfirmasi media menjelaskan, sudah melakukan upaya-upaya untuk bisa membawa tersangka ke Indonesia agar bisa diproses hukum. Namun, karena ini antar negara, jadi harus menunggu langkah dari Interpol.
"Memang kita merasakan giman korban, tapi kendala kami kan tersangka di luar negeri. Tapi upaya kami sudah semaksimal mungkin untuk menyurat ke Dirjen Imigrasi, ke Hubinter untuk bantuannya ke luar negeri atau Interpol. Dan kemarin awal bulan sudah dapat surat dari Kabareskrim balasan dari Kapolri, bawah Kabareskim menyurat ke Imigrasi untuk pencekalan dua tersangka ini. Terus Kabareskrim ke Hubinter juga terkait red notice," terang Hendra.
Hendra menambahkan, dari upaya yang dilakukan, pihak atase kepolisian Australia juga sudah memberikan kabar ke Polda Jatim melalui pesan singkat Whatsapp (WA) ke pimpinan.
"Nah kemarin pimpinan dapat WA dari atase kepolisian yang di Australia. Jadi, kalau untuk yang lain ini sudah ada penolakan perpanjangan paspor untuk tersangka CS Warga Negara Indonesia (WNI). Yang kedua, atase Kepolisian Australia juga sudah menghubungi polisi di sana bahwa kasus itu masuk ranah pidana. Tapi pihak Australia belum meng ekstradisi warganya ke Indonesia. Jadi upaya kami sudah maksimal. Ini antar negara, untuk itu kita tinggal menunggu waktu saja," bebernya.
Ditanya terkait red notice yang akan kadaluarsa, Hendra memastikan sudah bersurat ke Hubinter. Dan tidak ada masalah.
"Untuk red notice, jadi kami sudah dapat surat bahwa Hubinter sudah menyurat ke Interpol. Karena dalam kasus juga ada skala prioritas. Misalkan kasus narkoba atau pembunuhan. Karena ini kasusnya penipuan, maka kita masih menunggu. Tapi kita tidak tinggal diam dan kami selalu menanyakan perkembangannya juga ke Hubinter.
Perwira melati dua ini juga memastikan, kasus penipuan atas korban Selfie ini tidak akan menguap dan akan terus diproses. "Ya enggak lah. Kita sudah melakukan upaya-upaya termasuk mengajak korban ke imigrasi," pungkasnya.
Untuk diketahui, kasus penipuan dan penggelapan ini berawal dari tahun 2014. Saat itu Selfie baru saja mendirikan perusahaan di bidang ekspor barang-barang usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Jatim.
Awal perkenalan dirinya dengan tersangka DTJ ketika Selfie masih bekerja di salah satu perusahaan di Jawa Timur. Lama mereka tidak komunikasi, sampai Selfie memutuskan keluar dari pekerjaannya dan membuka perusahaan baru.
Tiba-tiba, DTJ menghubungi Selfie dengan memberikan penawaran kerjasama. Terlapor ingin membeli barang-barang yang dijual Selfie dengan jumlah besar.
Awalnya Selfie tidak percaya dengan pelaku. Namun, DTJ terus merayu Selfie dengan mengatakan bahwa, pihaknya sudah memiliki partner di Indonesia untuk men-support kebutuhannya di Australia.
Hanya saja, partner bisnisnya itu terbilang lambat dan butuh banyak supplier lainnya di Indonesia untuk perusahaannya di Australia (Perth). Sehingga, ia ingin mencari orang lain lagi. Warga Australia itu bahkan menyebut bahwa perusahaannya di Australia Barat (Western Australia) adalah perusahaan besar dan memiliki jaringan yang luas. Ia adalah importir dari negara Kangguru.
Bahkan, ia menjelaskan memiliki perusahaan di Indonesia. Perusahaan itu mengatasnamakan pelapor CS yang bergerak di perdagangan lokal untuk barang kebutuhan sehari-hari dengan harga yang miring. Harga yang ditawarkan pelaku sangat menggiurkan.
Selfie pun memutuskan untuk menyetujui permintaan tersebut. “Saat itu, ia minta saya kirimkan empat kontainer dalam sekali kirim. Tapi, karena saya tidak sanggup, saya minta untuk pengirimannya dicicil. DTJ akhirnya setuju,” terangnya.
Namun, DTJ meminta agar pembayarannya diberikan setelah semua pesanannya terkirim. Sebenarnya, permintaan itu berat. Namun, Selfie mencoba untuk memenuhi permintaan tersebut. Semua permintaannya telah dikirim.
Hingga batas waktu yang diberikan, DTJ tidak kunjung membayar semua barang-barang tersebut. Total kerugian yang dialaminya mencapai Rp 1.825.800.000.
Selfie pun melaporkan kasus tersebut ke Polda Jatim. Di kepolisian pelapor merasakan hal pahit. Kasusnya seperti tidak jalan. Buktinya sampai 6 tahun lamanya kasus ini belum ada kejelasan. Selfie sendiri sudah beberapa kali menanyakan kejelasan kasusnya ke penyidik Ditreskrimum Polda Jatim.
Pihaknya bahkan sudah melayangkan surat ke pimpinan Polri dan Presiden RI untuk meminta perlindungan hukum atas kasus yang menderanya.
Bahkan selama mencari keadilan, Selfie sempat mendapat ancaman dari pelaku melalui telepon dan pesan text.
Editor : Ali Masduki