Masih kata Prof. Romli, sejak dilakukan perubahan konstitusi UUD '45, seyogyanya semua pihak, termasuk pakar hukum dan hak asasi manusia memahami selain ketentuan HAK ASASI MANUSIA, Bab XA, Pasal 28 A sd Pasal 28 I, juga harus dipahami ketentuan KEWAJIBAN ASASI MANUSIA tersebut, tercantum dalam Pasal 28 J.
Pasal 28 J itu berbunyi: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Hukum pidana baik secara teoritik maupun praktik, diakui teosi sebab-akibat (causaliteit leer) Von Buri yang nengutamakan sebab terdekat dari suatu peristiwa untuk menentukan siapa penyebab dari suatu tindak pidana dari sekian banyak sebab.
Prof. Romli memaparkan, dalam konteks kasus tragedi Kanjuruhan, diketahui bahwa sebab terdekat dari peristiwa 135 orang meninggal dan 75 orang luka berat atau ringan adalah keadaan stadion yang sudah tidak laik fungsi, terutama pintu gerbang 13 yang pada saat kerjadian penonton atau supporter mencari jalan keluar dalam keadaan seperempat terbuka, sehingga para korban terinjak-terinjak.
"Sebab terjauh adalah gas air mata yang mengakibatkan dua petugas Polri meninggal di lapangan yang didukung oleh provokasi beberapa oknum suporter untuk menyerbu lapangan dan petugas di lapangan. Keadaan chaos yang sudah tidak terkendali menimbulkan keadaan darurat (overmacht)," ungkapnya.
"Dalam keadaan chaos tidak terkendali di malam hari, dipastikan tidak dapat diketahui secara pasti siapa penyebab dan siapa korban. Dan teori kausalitas merupakan alternatif solusi yang paling dapat diterima dan objektif," sambung Prof. Romli.
Dalam kasus tragedi Kanjuruhan, lanjut Prof. Romli, semua empati dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat termasuk Komnas HAM terhadap keluarga korban hendaknya juga diiimbangi dengan teori dan doktrin hukum pidana yang diakui universal, sehingga menghasilkan objektivitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan hukum.
"Itulah suatu negara hukum, bukan negara penghukuman. Dalam pandangan saya, bertolak pada keadaan dan situasi kondisi di tengah peristiwa, justru sudah tepat Majelis Hakim PN Surabaya jika memberikan putusan bebas terhadap para terdakwa dari instansi kepolisian," tegas Prof. Romli.
Alasannya, menurut Prof. Romli, tidak pasti dan tidak adil kiranya jika beban pertanggungjawaban pidana selalu dilekatkan pada jabatan yang disandang pelaku, seperti pihak kepolisian.
"Karena metoda beban pertanggungjawaban seperti itu hanya mencari dan menemukan kebenaran formil. Sedangkan tujuan hukum pidana sebenarnya, selain telah diuraikan di atas, adalah juga mencari dan menemukan kebenaran materiil. Kebenaran sesungguhnya yaitu penyebab nyata dari suatu peristiwa pidana," pungkasnya.
Editor : Ali Masduki