SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Politik identitas akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat. Jelang Pemilu tahun 2024, isu ini ditengarai digunakan untuk menyudutkan calon presiden tertentu.
Politik identitas, salahkah? H. Muladi Mughni, Ph.D, Cendikiawan muda Nahdlatul Ulama (NU), mantan Ketua Tanfidziyah NU Pakistan, dan Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pakistan menuturkan, seiring berjalannya waktu, Indonesia perlu terus berupaya untuk memelihara dan mempromosikan gabungan etika (budaya) dan nilai (agama) melalui representasi mayoritas Jawa dan Islam yang terbukti telah membentuk identitas etik masyarakat Indonesia yang ramah dan religius.
"Hal ini akan membantu mempertahankan kesatuan dan kerukunan dalam keragaman yang menjadi ciri khas Indonesia," tuturnya saat menjadi pembicara dalam diskusi dengan tema "Mengelola Konflik di Media Sosial Pada Pemilu 2024: Agama, Budaya dan Masa Depan Indonesia, yang digelar Perhimpunan Masyarakat Pesantren Indonesia (PMPI), di Surabaya, Kamis (19/10/2023).
Selain itu, kata dia, berpaduan dua kekuatan ini semakin mempertajam tujuan bernegara untuk menghapuskan musuh bersama berupa penindasan dan ketidakadilan, nafsu keserekahan dan korupsi yang dapat menghambat kesejahteraan serta kemakmuran rakyat.
Partai politik, khususnya yang menjadi rumah bagi warga Muslim Indonesia seperti PKB, PKS, dan lainnya diharapkan berperan/berkomitmen terus menjaga keberlangsungan nilai-nilai luhur tersebut melalui perjuangan politik yang diwujudkan antara lain dalam pemilihan Kepala Pemerintahan Republik Indonesia 2024 mendatang.
Ia melanjutkan, semangat politik berbasis identitas untuk meraih kekuasaan sejatinya adalah hal yang lumrah, karena manusia adalah makhluk sosial dengan multi-identitas.
"Namun hal yang patut dipastikan bahwa saat kekuasaan tersebut telah diraih, orientasi pembangunan harus diarahkan untuk kemashlahatan bersama. Karena hakikatnya tidak ada manusia yang dapat membebaskan afiliasi kelompoknya dari keterkaitan terhadap kelompok lain sebagai ekosistem hidup bernegara dan bermasyarakat," terangnya.
"Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah. Artinya: segala tindakan dan kebijakan seorang pemimpin harus terkait langsung dengan tingkat kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya," tutup Cendikiawan NU tersebut.
Editor : Ali Masduki