Yasonna menuturkan, ada tiga poin dalam Putusan MK atas UU Cipta Kerja yang perlu ditindaklanjuti Pemerintah. Yaitu pembentuk UU diperintahkan untuk mengakomodir metode omnibus law dalam perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 (UU Pembentukan Peraturan Perundang- undangan); secara prosedural pembentukan UU Cipta Kerja harus diperbaiki dalam waktu dua tahun sejak Putusan MK diucapkan; dan Pemerintahn harus menangguhkan segala kebijakan/tindakan strategis yang didasarkan pada UU Cipta Kerja.
“Sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum, Pemerintah menghormati dan segera melaksanakan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020,” ujar Yasonna, dalam orasi ilmiah bertema “Urgensi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” tersebut.
UU Cipta Kerja disahkan pada 2020 menggunakan metode Omnibus Law dan memperhatikan muatan serta substansi undang-undang yang harus diubah dalam UU tentang Cipta Kerja mencapai 78 Undang-Undang, yang meliputi 10 klaster yaitu: peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; ketenagakerjaan; kemudahan, perlindungan serta pemberdayaan koperasi dan UMK-M; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; pengadaan tanah; kawasan ekonomi; investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional; pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan pengenaan sanksi.
Pelaksanaan UU tentang Cipta Kerja diharap mencapai tujuan pembentukannya, yaitu: penciptaan dan peningkatan lapangan kerja dengan memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap sektor koperasi dan UMK-M untuk menyerap tenaga kerja Indonesia seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi nasional.
Editor : Ali Masduki