Antrean Haji Bertahun-Tahun, Apakah Kewajiban Ini Masih Berlaku?
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Pertanyaan mengenai kewajiban menunaikan ibadah haji di tengah antrean panjang yang mencapai puluhan tahun kembali mencuat di kalangan umat Islam Indonesia.
Ulul Albab, Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI dan Ketua ICMI Jawa Timur, memberikan pencerahan terkait hal ini. Menurutnya, antrean panjang tidak serta-merta menghapus kewajiban haji bagi mereka yang telah mampu secara finansial dan fisik.
"Dalam fiqih klasik, kewajiban haji ditetapkan bagi Muslim yang istitha’ah, yaitu mampu secara fisik, finansial, dan keamanan perjalanan," terang Ulul Albab dalam keterangan tertulisnya, Rabu (18/6/2025).
"Di era sekarang, dimensi kemampuan administratif, termasuk kuota, visa, dan sistem antrean, menjadi bagian penting dalam interpretasi istitha’ah," sambungnya.
Ulul Albab menegaskan bahwa pertanyaan tersebut seharusnya menjadi penggugah bagi pemerintah untuk mencari solusi, karena penyelenggaraan haji diatur dan dilaksanakan oleh pemerintah.
"Saat ini jutaan umat mampu secara fisik dan finansial, tetapi tidak mampu menentukan kapan berangkat karena sistem kuota," tambahnya.
Namun, merujuk pada fiqih haji, mayoritas ulama, termasuk para fuqaha kontemporer dari Majma’ al-Fiqh al-Islami (OKI), menyatakan antrean panjang bukan alasan gugurnya kewajiban haji.
"Yang berubah hanyalah waktu pelaksanaannya, bukan substansi perintahnya," tegas Ulul Albab. Artinya, jika seseorang mampu secara finansial dan fisik, ia wajib mendaftar ke Kemenag, meskipun keberangkatannya baru akan terlaksana bertahun-tahun kemudian.
Mendaftar sebagai Bentuk Kepatuhan
Ulul Albab menjelaskan bahwa mendaftar haji merupakan ekspresi keimanan dan masuk dalam fase taklif syar’i atas haji.
"Dalam maqashid syariah, Islam menekankan niat yang serius. Ketika seseorang mendaftar dan membayar setoran awal, ia sudah memasuki fase taklif syar’i, bahkan jika wafat sebelum berangkat, ahli warisnya bisa menggantikannya melalui badal haji," jelasnya.
Ini sejalan dengan firman Allah SWT: “Dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah: 286).
Ulul Albab menambahkan bahwa taklif syar’i atas haji adalah beban kewajiban agama yang dikenakan kepada Muslim yang telah memenuhi syarat (baligh, berakal, merdeka, dan mampu finansial dan fisik).
"Ketika seseorang sudah istitha’ah, maka ia terikat secara hukum syar’i untuk menunaikan haji, meskipun keberangkatannya baru terlaksana bertahun-tahun kemudian. Kewajiban haji tetap melekat dan tidak gugur," tuturnya.
Ibadah Haji: Kolektif dalam Pelaksanaan, Individual dalam Niat
Antrean haji mencerminkan tingginya gairah umat Islam Indonesia untuk menunaikan rukun Islam kelima. Namun, hal ini juga menunjukkan perlunya edukasi fiqih sosial agar umat memahami bahwa haji adalah ibadah kolektif dalam pelaksanaannya, tetapi individual dalam niatnya.
"Tak semua yang mampu langsung bisa berangkat. Tokoh agama, ormas, dan lembaga pendidikan Islam perlu memberi pencerahan holistik," kata Ulul Albab.
Ia juga menyoroti perlunya reformasi manajemen haji yang lebih adil, efisien, dan berkah. Beberapa pendekatan yang diusulkan antara lain optimalisasi kuota tambahan, peningkatan layanan haji khusus, dan edukasi haji sejak dini.
Ulul Albab menyimpulkan bahwa anggapan kewajiban haji gugur karena antrean panjang adalah tidak benar.
"Justru, ini momen spiritual yang harus dihadapi dengan bijak: merawat niat, menyiapkan diri, dan terus berdoa," pesannya.
ICMI dan AMPHURI akan terus mendorong pemerintah untuk menghadirkan solusi atas persoalan ini dan mengajak umat untuk memperbanyak doa agar dimudahkan menunaikan ibadah haji.
Editor : Ali Masduki