Refleksi 22 Tahun Mahkamah Konstitusi, Penjaga Konstitusi atau Penguasa Tafsir Demokrasi?
SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) resmi berdiri pada 13 Agustus 2003. Lahir dari amandemen ketiga UUD 1945, lembaga ini hadir sebagai “anak kandung reformasi” dengan mandat besar: menafsirkan konstitusi, melindungi hak-hak warga negara, sekaligus menjadi pengawal demokrasi di Tanah Air.
Secara filosofis, MK menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana negara demokratis bisa memastikan konstitusi tidak dikhianati oleh penguasa? Dalam praktik politik, kehadiran MK juga menjadi wujud prinsip checks and balances, terutama melalui mekanisme judicial review terhadap produk legislasi yang berpotensi bertentangan dengan UUD.
Sejak awal berdiri, MK kerap melahirkan putusan penting yang menjadi tonggak sejarah demokrasi Indonesia. Salah satu yang paling dikenal adalah Putusan No. 5/PUU-V/2007 yang membuka jalan bagi calon independen maju dalam Pilkada. Langkah ini dinilai sebagai terobosan besar di tengah dominasi partai politik pada masa itu.
Selain itu, MK juga berperan vital dalam mengawal sengketa hasil Pemilu. Putusan-putusan yang dihasilkan bukan sekadar menentukan pemenang, tetapi juga memastikan legitimasi hasil pemilu benar-benar lahir dari proses yang adil, terbuka, dan sesuai prosedur hukum.
Namun perjalanan MK tak selalu mulus. Putusan terkait batas usia capres-cawapres pada 2023 menjadi salah satu kontroversi terbesar. Keputusan yang membuka jalan bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka menuai kritik publik karena dianggap sarat kepentingan politik dan menimbulkan dugaan konflik kepentingan. Kasus ini bahkan berujung pada pemberhentian Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.
Editor : Arif Ardliyanto