Refleksi 22 Tahun Mahkamah Konstitusi, Penjaga Konstitusi atau Penguasa Tafsir Demokrasi?
Antara Penjaga Konstitusi dan Yuristokrasi
Dalam teori ketatanegaraan, MK seharusnya memainkan tiga fungsi utama: penjaga konstitusi, pengawal demokrasi, dan pelindung hak-hak warga negara. Namun, kewenangan besar yang dimiliki lembaga ini juga menimbulkan kekhawatiran munculnya fenomena yuristokrasi, yaitu dominasi tafsir hukum yang justru mengambil alih ranah politik dari tangan parlemen.
Putusan mengenai syarat usia capres menjadi contoh nyata. Hanya dengan sembilan hakim, arah kontestasi politik nasional dapat berubah drastis sebuah keputusan yang seharusnya menjadi ranah legislator. Meski demikian, di sisi lain, MK juga terbukti menjadi “rem darurat” dalam mencegah tirani mayoritas, seperti melalui putusan yang mengizinkan calon independen dalam Pilkada.
Tantangan MK ke Depan
Dua puluh dua tahun perjalanan MK adalah cermin perjalanan demokrasi Indonesia. Ada putusan yang menguatkan hak politik rakyat, tetapi ada pula yang mengguncang kepercayaan publik.
Ke depan, ada tiga tantangan besar yang harus dijawab MK agar tetap dipercaya rakyat:
1. Penguatan etika hakim konstitusi dengan mekanisme pengawasan independen untuk mencegah konflik kepentingan.
2. Konsolidasi doktrin konstitusi agar putusan tidak terkesan sporadis dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
3. Peningkatan partisipasi publik sehingga sidang MK benar-benar menjadi ruang rakyat membela hak-hak konstitusionalnya.
Pada akhirnya, keberadaan MK akan selalu diuji oleh publik. Apakah ia akan tetap menjadi benteng konstitusi dan demokrasi, atau justru berubah menjadi penguasa tafsir yang rawan terseret kepentingan politik?
Dr. Hufron., S.H., M.H.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Sekretaris Pengurus Wilayah Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Timur
Editor : Arif Ardliyanto