Kepailitan di Era Bisnis Modern: Saat Risiko Tak Lagi Sekadar Teori
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Kata pailit sering kali terdengar seperti istilah hukum yang jauh dari keseharian pelaku bisnis. Padahal, di tengah persaingan ekonomi yang semakin ketat, kepailitan bisa menjadi mimpi buruk yang sangat nyata bahkan bagi perusahaan yang terlihat stabil sekalipun.
Dalam hukum Indonesia, kepailitan diatur melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Secara sederhana, kepailitan adalah sita umum atas seluruh kekayaan debitur yang dikelola oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.
Namun di balik istilah yuridis tersebut, tersimpan persoalan besar: bagaimana nasib perusahaan, karyawan, dan ekosistem bisnis di sekitarnya setelah putusan pailit dijatuhkan?
Ketika Putusan Pailit Menjadi “Game Over” bagi Sebuah Perusahaan
Banyak yang menganggap kepailitan hanya urusan aset dan utang. Padahal dampaknya jauh lebih dalam.
Begitu sebuah perusahaan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, seluruh asetnya langsung disita dan dikelola oleh kurator yang ditunjuk pengadilan. Dari inventaris, rekening bank, hingga properti semuanya bukan lagi milik perusahaan, melainkan bagian dari boedel pailit.
Akibat paling nyata?
Operasional berhenti, keuangan membeku, dan tak jarang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal menjadi konsekuensi pahit. Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga tentang kehidupan banyak orang yang bergantung pada keberlangsungan perusahaan tersebut.
Dalam proses kepailitan, kurator memegang peran vital sebagai pengelola aset debitur pailit.
Jika kreditur tidak menunjuk kurator pribadi, maka Balai Harta Peninggalan (BHP) akan mengambil alih peran tersebut. Setiap langkah kurator diawasi oleh hakim pengawas yang memastikan prosesnya transparan dan sesuai hukum. Namun menariknya, tidak semua kreditur diperlakukan sama.
Kreditur dengan jaminan seperti hak tanggungan atau gadai mendapat prioritas. Begitu juga kreditur istimewa seperti pekerja dengan gaji tertunggak dan negara dengan tagihan pajak. Sementara kreditur biasa (konkuren) hanya bisa berharap dari sisa hasil penjualan aset setelah hak-hak khusus terpenuhi.
Salah satu hal yang sering terabaikan adalah peluang perdamaian sebelum likuidasi.
Debitur sebenarnya dapat mengajukan rencana restrukturisasi utang kepada para kreditur melalui mekanisme perdamaian. Tujuannya agar bisnis bisa bertahan tanpa harus melewati fase jual aset besar-besaran.
Sayangnya, dalam praktik, langkah ini sering terlambat. Ego, ketidaksiapan, dan komunikasi yang buruk antara pihak debitur dan kreditur membuat peluang penyelamatan perusahaan kandas begitu saja.
Padahal jika rencana perdamaian disetujui, proses likuidasi bisa dihindari. Sebaliknya, bila ditolak, perusahaan akan berakhir di meja lelang Balai Lelang Negara menjadi kisah klasik kehancuran sebuah bisnis yang mungkin bisa diselamatkan.
Kepailitan bukan hanya tentang kegagalan keuangan, tapi juga tentang lemahnya manajemen risiko dan kurangnya pemahaman terhadap hukum bisnis. Banyak pelaku usaha yang terlalu fokus pada ekspansi, tanpa membangun sistem proteksi hukum dan keuangan yang memadai.
Era bisnis saat ini menuntut pemimpin perusahaan untuk melek hukum dan sadar risiko. Memahami Undang-Undang Kepailitan bukan hanya tugas pengacara atau akuntan, tapi kebutuhan dasar bagi siapa pun yang ingin bisnisnya berumur panjang.
Kepailitan adalah peringatan keras bahwa stabilitas bisnis bisa runtuh dalam sekejap.
Namun dengan pemahaman yang baik, komunikasi yang jujur dengan kreditur, serta strategi hukum yang matang, kepailitan bukan akhir dari segalanya. Ia bisa menjadi awal dari transformasi dan tata kelola baru yang lebih sehat. Karena pada akhirnya, yang membuat bisnis bertahan bukan hanya modal, tapi kebijaksanaan dalam mengelola risiko.
Penulis:
Oktavianto Prasongko, SH, M.Kn., Advokat, Kurator, dan Pengurus – Kantor Hukum Oktavianto & Associates
Editor : Arif Ardliyanto