Remaja di Era Digital, Terhubung Tapi Kehilangan Jati Diri
Emosi yang dulu menjadi warna kehidupan kini berubah menjadi hitam putih, Datar, dingin, dan hampa. Mati rasa ini tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh dari tumpukan ekspektasi dan tekanan yang datang dari segala arah, orang tua yang menuntut prestasi, sekolah yang mengejar kesempurnaan, lingkungan sosial yang menilai berdasarkan citra, serta algoritma media sosial yang memaksa perbandingan tanpa henti.

Lama-kelamaan, hati mereka kebas. Bukan karena tidak peduli, tapi karena terlalu sering terluka oleh ekspektasi dan perbandingan. Ketika segalanya menjadi ajang kompetisi, remaja kehilangan ruang untuk bernapas. Masyarakat sering melihat remaja masa kini sebagai generasi yang bahagia, modern, dan serba mudah. Padahal, banyak dari mereka justru merasa kosong, bisa tertawa keras di depan kamera, tapi diam-diam menangis di malam hari. Bisa berbicara dengan ribuan orang di dunia maya, namun tetap kesepian di dunia nyata.
Ironisnya, di tengah konektivitas tanpa batas, banyak remaja kehilangan koneksi paling penting, hubungan dengan diri sendiri. Mereka tidak tahu bagaimana mengelola emosi, menyembuhkan diri, atau sekadar merasa cukup.
Krisis ini bukan semata milik remaja. Ia adalah hasil dari sistem yang membesarkan mereka dengan pesan keliru, bahwa nilai diri diukur dari hasil, bukan proses, kelemahan harus disembunyikan, bukan diterima, kegagalan adalah aib, bukan bagian dari tumbuh.
Editor : Arif Ardliyanto