Remaja di Era Digital, Terhubung Tapi Kehilangan Jati Diri
Tak heran jika banyak remaja merasa tidak pantas untuk lemah. Mereka tumbuh dengan nasihat seperti “kamu harus kuat”, “jangan cengeng”, atau “lihat orang lain saja bisa”. Kalimat sederhana itu justru perlahan membunuh ruang empati dalam diri mereka. Mereka belajar menekan perasaan, bukan memahami perasaan. Hingga akhirnya, satu-satunya cara bertahan adalah berhenti merasa.
Kini muncul budaya baru di kalangan anak muda, budaya tahan sakit. Mereka bangga bisa begadang demi tugas, bangga tetap tersenyum meski patah hati, dan bangga terus produktif di tengah stres.
Semua itu tampak mengagumkan di permukaan, tapi perlahan menggerogoti jiwa. Budaya tahan sakit membuat banyak remaja kehilangan kelembutan terhadap diri sendiri. Mereka lupa bahwa menjadi manusia berarti juga memiliki batas. Mereka terbiasa berpura-pura kuat hingga tak sadar bahwa dirinya sedang retak.
Padahal, tidak ada salahnya berhenti sejenak. Tidak apa-apa menangis, merasa sedih, atau gagal. Dari rasa sakit, kita belajar mengenal diri. Dari tangisan, kita tahu apa yang berharga. Dari kegagalan, kita memahami arti perjuangan.
Kita sering menyalahkan remaja dengan label “manja”, “sensitif”, atau “terlalu sibuk main gawai”. Mungkin kita lupa, mereka tumbuh di dunia yang jauh lebih rumit dari masa kita dulu. Dunia yang tak pernah berhenti bergerak, bahkan saat mereka ingin beristirahat. Dunia yang menilai harga diri melalui layar, dan tidak memberi ruang untuk salah.
Sebelum menilai, kita perlu mendengarkan. Sebelum menasihati, kita perlu memahami. Terkadang, yang remaja butuhkan bukan solusi, melainkan pelukan. Bukan petuah, tapi ruang aman untuk jujur.
Remaja tidak membutuhkan orang dewasa yang selalu benar, mereka membutuhkan orang dewasa yang bisa menjadi manusia yang ingin mendengar, bukan menghakimi, ingin menenangkan, bukan membandingkan.
Remaja masa kini sebenarnya luar biasa. Mereka kreatif, berani, dan punya empati tinggi. Mereka hanya perlu diingatkan bahwa mereka tidak harus selalu sempurna untuk menjadi berharga.
Berani menjadi diri sendiri di zaman ini adalah bentuk perlawanan paling indah. Sebab dunia akan terus menilai dan menuntut, tetapi keberanian untuk tetap jujur pada hati sendiri adalah kemenangan sejati.
Jadi, untuk setiap remaja yang sedang merasa hampa, istirahatlah sejenak. Tidak apa-apa jika tidak baik-baik saja hari ini. Hidup bukan lomba, dan jangan merasa sedang tertinggal. Remaja hanya manusia yang sedang belajar.
Di dunia yang sibuk membandingkan diri, keajaiban terbesar bukanlah menjadi yang paling bersinar, melainkan menjadi yang paling tulus.
Penulis: Muhammad Daffi Alvieto
Editor : Arif Ardliyanto