Kebebasan Bersuara di Dunia Digital: Antara Demokrasi dan Anarki Informasi
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Media sosial telah merevolusi cara manusia berinteraksi dan menyampaikan pendapat. Platform digital seperti X (Twitter), Instagram, dan TikTok kini berfungsi layaknya ruang publik terbesar di dunia, menawarkan panggung bagi siapa pun untuk bersuara. Melalui media sosial, masyarakat dapat mengkritik kebijakan pemerintah, berbagi ide, mengorganisir gerakan sosial, hingga membuka ruang diskusi untuk isu-isu yang sebelumnya terpinggirkan. Inilah bentuk nyata dari demokratisasi suara di era digital.
Namun, kebebasan berekspresi di dunia maya juga membawa tantangan besar. Penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga penyalahgunaan informasi kerap menimbulkan konflik sosial dan hukum. Fenomena “jempol gatal” kebiasaan memposting sesuatu tanpa berpikir panjang sering kali menjebak pengguna dalam masalah serius. Di sinilah pentingnya tanggung jawab digital sebagai pengimbang dari kebebasan yang kita nikmati.
Ironisnya, tidak sedikit orang kini justru enggan bersuara karena takut diserang warganet atau dilaporkan ke pihak berwenang. Fenomena ini dikenal sebagai cancel culture, di mana seseorang diboikot karena ucapannya dianggap salah atau menyinggung pihak tertentu. Padahal, perbedaan pendapat adalah bagian alami dari masyarakat demokratis.
Kebebasan berekspresi seharusnya membuka ruang dialog dan pembelajaran dari berbagai perspektif, bukan justru menjadi ajang saling menjatuhkan. Idealnya, media sosial menjadi wadah untuk berdiskusi dengan cara yang santun dan saling menghormati.
Editor : Arif Ardliyanto