Dokter Kerja 16 Jam Sehari: Risiko Fatal bagi Keselamatan Pasien
Setiap keluhan pasien, demam berkepanjangan, nyeri perut, sesak napas memicu rangkaian pertanyaan klinis dalam benak dokter, Apakah ini infeksi bakteri atau virus? Adakah keterlibatan organ lain? Apakah pasien memiliki riwayat penyakit autoimun?
Proses ini berlangsung simultan sambil dokter tetap menjaga komunikasi empatik dengan pasien, memeriksa rekam medis elektronik, dan mempertimbangkan keterbatasan fasilitas diagnostik yang tersedia.
Beban kognitif ini tidak berhenti saat shift selesai. Dokter membawa pulang kekhawatiran tentang pasien kritis, keputusan klinis yang telah diambil, dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi tengah malam.
Meski bekerja dalam tekanan tinggi, dr. Michael dan staf rumah sakit tetap menjunjung standar 5S1R: Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun, Rapi.
Ketika bertemu pasien, baik yang membayar mandiri maupun peserta BPJS, dr. Michael selalu menyapa dengan hangat dan mengingat riwayat pasien sebelumnya. Detail seperti ini tampak sepele, namun mencerminkan profesionalisme yang dipertahankan di tengah kelelahan fisik dan mental.
Timothy mencatat bahwa konsistensi etika ini justru menambah beban. Dokter tidak hanya dituntut mendiagnosis dengan akurat, tetapi juga menjadi komunikator yang baik, pengambil keputusan yang cepat, dan penyedia empati yang tidak pernah habis bahkan di jam ke-12 shift mereka.
Realitas brutal jam kerja panjang ini dibangun di atas fondasi pendidikan yang tidak kalah berat. Untuk menjadi dokter spesialis penyakit dalam seperti dr. Michael, seseorang harus menempuh:
Total 11-12 tahun pendidikan intensif sebelum bisa praktik mandiri sebagai spesialis.
Investasi waktu, tenaga, dan biaya yang masif ini seharusnya diiringi dengan sistem kerja yang melindungi kesejahteraan dokter dan pada akhirnya, keselamatan pasien. Namun, realitasnya justru bertolak belakang.
Pengalaman observasi Timothy bukan sekadar catatan akademis. Ini adalah peringatan bahwa sistem kesehatan Indonesia beroperasi di atas fondasi yang rapuh. Dokter yang kelebihan beban kerja (overworked), kurang terlindungi (underprotected), dan berisiko tinggi melakukan kesalahan medis.
Beberapa negara telah membatasi jam kerja dokter residen maksimal 80 jam per minggu dengan shift tidak boleh melebihi 24 jam berturut-turut, seperti di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang mengikuti European Working Time Directive.
Indonesia membutuhkan regulasi serupa, bukan hanya untuk kesejahteraan dokter, tetapi lebih penting lagi untuk keselamatan pasien.
Pertanyaannya bukan lagi apakah kita mampu melakukan reformasi ini, tetapi berapa nyawa pasien lagi yang harus menjadi harga dari keterlambatan kita mengambil tindakan?
Penulis
Timothy Calvin Yang ( Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unair )
Editor : Arif Ardliyanto