Aktivitas produksi arjo itu, kata AKBP Suryono, berlangsung sekitar sebulan terakhir dengan bahan dasar campuran tetes tebu dan air, kemudian disuling. Pelaku membuat arjo secara autodidak.
Dalam sekali produksi, pabrik baru itu menghasilkan 4 jeriken arjo masing-masing berkapasitas 30 liter. Arjo tersebut selanjutnya diedarkan di Madiun dan Magetan. Setiap jeriken dijual dengan kisaran harga Rp 350 ribu sampai Rp 370 ribu dengan keuntungan Rp 20 juta per bulan.
Kepala Desa Sidomulyo Setiyo Margono mengatakan bahwa pihaknya tak menyangka ada praktik pembuatan miras di wilayahnya. “Warga sekitar juga tidak menaruh curiga karena tidak tercium bau arak dari luar,” kata Setiyo Margono.
Dijelaskan pula bahwa rumah tersebut disewakan selama 1 tahun. Kepada perangkat desa setempat, penyewa mengaku akan membuat pabrik hand sanitizer dan memberdayakan warga sekitar sebagai karyawan.
“Tentunya kami senang dengan rencana itu karena juga mengurangi pengangguran warga. Akan tetapi, tidak tahunya malah jadi pabrik minuman keras,” kata dia.
Atas praktik pembuat minuman keras itu, pelaku dijerat lima pasal sekaligus, yakni Pasal 204 ayat (1) KUHP, Pasal 62 juncto Pasal 8 ayat (1) huruf A dan I UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Berikutnya Pasal 140 dan Pasal 142 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Pasal 106 UURI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dengan ancaman hukuman pidana penjara bervariasi, mulai 2 hingga 15 tahun.
Editor : Arif Ardliyanto