get app
inews
Aa Text
Read Next : Relawan Brigade 02 Prabowo-Gibran Dukung Fandi Utomo Maju Pilbup Sidoarjo 2024, Ini Alasannya

Rizal Ramli: Mas Jokowi Sudah Menjadi Lame Duck

Sabtu, 04 Juni 2022 | 17:27 WIB
header img
Ekonom senior, Dr Rizal Ramli. (Foto: Dok Pribadi)

SURABAYA, iNews.id - Masa pemerintahan Jokowi tinggal 2 tahun 5 bulan lagi. Pilpres akan dimajukan pada Februari 2024 mendatang. 

Setelah tiga tahun periode kepemimpinan Jokowi, rakyat menginginkan perubahan dengan perhelatan Pilpres secara demokratis, jujur dan adil. Kendati saat ini masih terdapat kendala Presidential Threshold. 

Tokoh Nasional Dr Rizal Ramli mengatakan, kebanyakan di negara-negara demokratis, 6 bulan sebelum jabatan seorang presiden berakhir biasanya menjadi lame duck. Di mana keputusan-keputusannya tidak dilaksanakan dan wibawanya jatuh. 

"Yang luar biasa dalam kasus Mas Jokowi, beliau sudah menjadi lame duck, padahal masanya akan berakhir masih 2 tahun lagi. 

Namun, keputusan-keputusannya sudah tidak efektif dan bahkan dibantah para menterinya dan tidak dilaksanakan," kata RR, Sabtu (4/6/2022) saat podcast bersama Refly Harun. 

"Bayangkan, kasus minyak goreng saja sudah bulan ke-lima lebih namun masih belum beres. Kalau 2,5 tahun lagi Mas Jokowi itu menjadi lame duck atau bebek lumpuh, maka yang dirugikan adalah rakyat dan bangsa kita karena banyak hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki namun tidak bisa diperbaiki," tambah Menko Ekuin era Presiden Gus Dur tersebut. 

Bahkan, RR menyarankan agar Jokowi belajar kepada almarhum Presiden Habibie saat menggantikan Soeharto sewaktu terpilih pada 1998 silam. 

"Seharusnya, Pak Habibie meneruskan masa jabatan Pak Harto sampai tahun 2003, tetapi waktu itu terjadi demo-demo kepada Pak Habibie  dan akhirnya memutuskan untuk mengadakan pemilu lebih cepat pada tahun 1999 agar supaya dia mendapatkan legitimasi yang lebih besar," bebernya. 

Kenyataannya, Habibie tidak mendapatkan legitimasi lebih besar. Namun karena ia memang negarawan yang luar biasa dan demokratis, Habibie memilih mengundurkan diri sebelum waktunya. 

"Harusnya, Mas Jokowi belajar, sudah berapa lama dia menjadi lame duck dengan keputusan-keputusan yang tidak efektif. Dalam situasi ini, masyarakat yang dikorbankan untuk pemerintahan lame duck yang berjalan 2,5 tahun lagi. Seharusnya, belajar dari Pak Habibie dan mengadakan pemilu yang lebih cepat," kata dia. 
 
Hanya saja, RR mengingatkan, dalam persoalan Pemilu ini tidak boleh mengulangi Pemilu 2019 dan bahkan 2014. Karena model Pemilu seperti itu hanya recycling dari kejahatan dan kecurangan pemilu-pemilu sebelumnya. 

Dia justru menyarankan harus belajar agar dapat Pemilu yang bersih, amanah, dipercaya dan murah biaya. Ada 2 kasus pemilu yang berhasil di Indonesia yaitu pemilu tahun 1955 dan 1999. 

"Bayangkan dengan teknologi yang tidak ada pada waktu itu (tahun 1955) namun kita dapat menjalankan pemilu yang bersih dan tidak ada kecurangan karena orang Indonesia masih bersih-bersih dan pemimpinnya juga hebat-hebat dan bersih," ungkap RR. 

Kedua, Pemilu 1999 juga patut ditiru karena bersih dan tidak ada yang aneh-aneh, minim kecurangan, dengan biaya hanya Rp 1,2 triliun.

Namun hari ini, pemerintah meminta budget Pemilu 2024 sebesar Rp 110 triliun, belum termasuk anggaran untuk pihak keamanan dan lain-lain. 

"Pada Pemilu 1999, kenapa kecurangan nyaris kecil dan biaya murah? Ini dikarenakan anggota-anggota KPU  terdiri dari wakil-wakil dari partai-partai, setiap partai diwakili satu orang, sehingga mereka saling mengawasi dan mereka saling intip kalau yang lainnya curang. Istilah management-nya adalah self-correcting mechanism terjadi di KPU dan Bawaslu," jelasnya. 

Akan tetapi hari ini berbeda. RR menilai Anggota KPU dan Bawaslu kebanyakan wakil dari ormas-ormas yang kelihatannya independen namun sebetulnya dipelihara oleh yang berkuasa sehingga tidak betul-betul independen. 

"Pasca Pak Jokowi, pemerintahan yang baru harus membenahi pemilu dengan cara membubarkan KPU dan Bawaslu kemudian mengangkat wakil-wakil dari masing-masing partai di KPU dan Bawaslu, agar mereka saling mengawasi dan saling intip agar tidak ada kecurangan," tegasnya. 

RR berharap ketua dari kedua lembaga tersebut dipilih dari kalangan independen yang memiliki leadership seperti Rudini dan DR. Buyung Nasution sewaktu Pemilu zaman Habibie tahun 1999 lalu. 

RR juga merasa aneh karena mata rantai Pemilu sangat panjang. Rakyat memilih di TPS, box suara dibawa ke Kecamatan, dibawa ke kabupaten, kemudian dibawa ke ibu kota provinsi. 

"Panjang sekali mata rantainya dan justru di mata rantai inilah terjadi kecurangan seperti box diganti, suaranya diganti, dan sebagainya," ungkapnya. 

RR menyarankan agar pemerintah pasca Jokowi nanti menghapuskan mata rantau Pemilu tersebut guna mengantisipasi kecurangan. 

Apalagi saat ini era digital. Data dari 8.800 TPS bisa langsung dikirim ke komputer pusat dan bisa online. Dokumen-dokumen bisa dikirim secara digital. 

"Sebenarnya, jumlah datanya kecil hanya 8.800 TPS dan setiap TPS paling hanya ada 400 suara," ujarnya. 

RR mencontohkan di Cina dengan jumlah penduduk 1,4 miliar. Namun pemerintah di sana sudah mempunyai data digital wajah dari semua penduduknya. 

"Jadi, mereka punya data facial, misalnya mukanya Refly, yang titiknya sampai ratusan ribu titik, baik cahaya dan nuance-nya yang beda-beda, bisa dibedakan antara Refly dan ribuan orang lain yang nyaris sama," kata RR dalam podcast tersebut. 

Tapi RR ragu apakah Bawaslu dan KPU yang dibentuk oleh Jokowi hari ini memiliki kemampuan seperti itu.

"Jadi memang ada baiknya Mas Jokowi mundur sehingga kita bisa membuat sistem pemilu yang betul-betul adil dan amanah. Pasti hasilnya  juga akan lebih baik karena nanti threshold akan dinolkan sehingga lebih kompetitif," ujarnya lagi.

Editor : Ali Masduki

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut