SURABAYA, iNewsSurabaya.id – Sidang gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang diajukan Nany Widjaja terhadap PT Jawa Pos dan Dahlan Iskan kembali digelar di ruang Cakra Pengadilan Negeri Surabaya.
Pada sidang kali ini, PT Jawa Pos selaku tergugat I menghadirkan ahli hukum perikatan dari Universitas Airlangga (Unair), Dr. Ghansham Anand.
Dalam keterangannya, ahli memaparkan sejumlah aspek terkait akta notaris sebagai akta otentik serta konsep perjanjian nominee. Ia menjelaskan bahwa keabsahan perjanjian, termasuk perjanjian nominee, harus memenuhi empat syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yakni kesepakatan para pihak, kecakapan, objek yang jelas, serta causa yang diperbolehkan.
“Sepanjang tidak ada cacat kehendak seperti paksaan atau pengancaman, maka perjanjian tersebut sah sepanjang memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata,” ujar Ghansham, Rabu (26/11/2025).
Kuasa hukum penggugat, Richard Handiwiyanto dan Billy Handiwiyanto, menilai keterangan ahli menegaskan bahwa perjanjian nominee hanya sah bila tidak melanggar hukum dan tidak mengandung unsur penipuan (fraud).
“Perjanjian nominee ruhnya berada pada Pasal 1320 BW. Dimana komponennya adalah sepakat dan cakap (subjektif) serta suatu sebab tertentu dan kausa yang halal (objektif). Pemahaman kausa yang halal oleh ahli diperjelas “Selama Tidak dilarang oleh hukum atau nyata-nyata melanggar hukum tertentu," katanya.
Richard menambahkan, nominee diperbolehkan selama tidak mengandung Fraud (secara nyata sengaja ingin mengelabuhi hukum atau ada niat buruk dalam perlakuannya).
"Jelas disini saham atas tunjuk dilarang oleh UU penanaman modal dan UU PT. Sehingga terkandung niatan buruk dalam perjanjian nominee tersebut. Dan dalam perkara yang saat ini kita ajukan ini, tidak ada perjanjian nominee, tidak ada kesepakatan untuk melakukan perjanjian nominee," ungkap Richard.
Menanggapi pernyataan Jawa Pos bahwa Nany tidak pernah menyetor saham, Billy menegaskan hal itu benar. “Bu Nany membeli saham dari pemilik awal PT Dharma Nyata Pers, bukan menyetor modal,” ujarnya.
Terpisah kuasa hukum Dahlan Iskan yakni Johanes Dipa Widjaja mengatakan ahli pernah sebagai pembimbing tesis dengan judul Tanggung Jawab Notaris Terkait Akta Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) dalam kepemilikan saham Perseroan.
“Dalam tesis tersebut secara tegas bahwa Perjanjian Nominee dilarang oleh hukum antara lain karena bertentangan dengan UU PT dan UU Penanaman Modal sehingga perjanjian tersebut berakibat batal demi hukum," ujar Johanes Dipa.
Dipa menambahkan, sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan (2) dalam UU Nomor 25/2007 sejalan dengan ketentuan Pasal 48 Ayat (1) UU Nomor 40/2007 menyatakan, Saham Perseroan Dikeluarkan Atas Nama Pemiliknya.
Dalam penjelasan ketentuan Pasal 48 Ayat (1) UU tersebut, dijelaskan bahwa perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama pemiliknya sebagai bukti kepemilikan saham, pemegang saham diberi sertifikat kepemilikan saham untuk saham yang dimilikinya.
“Orang yang tidak tercatat sebagai pemegang saham pada perseroan terbatas tidak dapat mengakui bahwa dengan adanya bukti perjanjian pinjam nama (nominee) antara dia dengan pemegang saham, maka dia adalah pemilik sebenamya dari saham pada perseroan terbatas,” jelasnya.
Dipa menekankan, dalam persidangan ahli dengan tegas menerangkan bahwa apabila norma tersebut bersifat memaksa (dwingend recht) maka tidak dapat disimpangi. Sehingga perjanjian yang dibuat menyimpangi norma yang bersifat memaksa berakibat batal. “Terkait bukti kepemilikan saham dalam UU PT normanya bersifat Dwingend Recht (memaksa), sehingga penyimpangan terhadap hal tersebut berakibat batal,” katanya.
Sementara itu, Nany Widjaja sebagai pihak penggugat yang tampak hadir dalam persidangan mengatakan, dirinya saat ini sedang memperjuangkan haknya. Sebab, dalam proses pembelian saham PT Dharma Nyata Pers, ia membeli dengan uangnya sendiri. ”Dan tidak ada perjanjian apapun terkait nominee dari awal hingga akhir,” katanya usai sidang.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
