Roy menjelaskan sebelum dinyatakan pailit, kondisi keuangan PT HSI dinilai masih bagus, karena Bank OCBC NISP selaku Kreditur selalu mendapatkan laporan keuangan PT HSI setiap 6 bulan sekali, dan sebelum dinyatakan PKPU dan berujung pailit perusahaan ini juga masih lancar membayar kreditnya. Dengan adanya pernyataan pailit terhadap PT HSI menyebabkan kerugian berupa kredit macet di Bank OCBC NISP senilai Rp 232 miliar.
Saksi lainnya, Dani, Legal Officer Bank OCBC mengatakan berdasarkan perjanjian kredit, bahwa PT HSI sebagai debitur wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari kreditur yakni Bank OCBC NISP, khususnya mengenai perubahan kepengurusan dan kepemilikan pemegang saham sebagaimana diatur dalam Poin 7.1.3 pada syarat dan ketentuan standar fasilitas perbankan Bank OCBC NISP.
Jaminan Kredit
Saksi Roy pun menjelaskan untuk memperoleh kredit dari Bank OCBC NISP, PT HSI memberikan jaminan berupa penempatan kas 15% dari limit pinjaman yang disediakan oleh bank yakni US$2.775.000 dan beserta Fidusia Piutang senilai US$ 7,4 juta.
“Hal ini sesuai dengan ketentuan pemberian kredit yang prudence dengan menerapkan prinsip 5C. Diantaranya, Collateral senilai cash 15% dan sisanya fidusia sehingga bernilai sekitar 50% dari nilai kredit yang diajukan PT HSI. Ini tidak cukup, sehingga kami menilai dari sisi Character dari pemegang saham, yakni Susilo Wonowidjojo. Beliau salah seorang yang punya kapasitas karena merupakan salah satu orang terkaya di Indonesia,” kata Roy.
Kuasa Hukum Bank OCBC NISP, Hasbi Setiawan mengatakan kesaksian hari ini dari dua orang saksi yang dihadirkan, semakin membuktikan bahwa adanya langkah-langkah sistematis yang dilakukan Pemegang saham dan Para Pengurus untuk menghindar dari tanggungjawabnya membayar utang kepada Bank OCBC NISP.
“Adanya perubahan kepemilikan saham dan perubahan susunan pengurus yang mempengaruhi stabilitas keuangan PT. HSI, sehingga berimbas pada gagalnya PT. HSI keluar dari proses PKPU dan berujung pailit,” kata Hasbi.
Editor : Ali Masduki