Sidang Dugaan Korupsi Jual Beli Tanah Ngawi Hadirkan Tiga Ahli

Lukman Hakim
Sidang perkara dugaan korupsi pembayaran BPHTB di Kabupaten Ngawi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya menghadirkan tiga ahli. (Foto/ist).

SURABAYA, iNewsSurabaya.id -Sidang perkara dugaan korupsi pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Kabupaten Ngawi kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Selasa (16/12/2025).

Sidang dengan terdakwa notaris Nafiaturrohmah mendatangkan tiga ahli untuk menjadi saksi meringankan. Tiga ahli tersebut adalah Dr H Mudzakkir SH MH Ahli Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Dr Doni Budiono S.Ak, SH, MH, ahli Perpajakan dan Dr Habib Adjie SH, MHum, ahli Kenotariatan. 

Ahli Pidana dari UII YogjakartaDr H Mudzakkir SH MH yang didapuk pertama memberikan keterangan menjelaskan terkait definisi tindak pidana korupsi dan juga gratifikasi. Menurut ahli hal yang penting yang menjadi esensi sebuah tindak pidana korupsi adalah sebuah perbuatan melawan hukum yang bisa merugikan keuangan negara. 

“Kerugian keuangan negara yang harus dibuktikan dulu baru perbuatan melawan hukum. Siapa yang menentukan kerugian negara, sesuai undang-undang, lembaga yang berhak menentukan keuangan negara adalah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," ujar ahli. 

Dalam tindak pidana korupsi lanjut ahli, tidak bisa diperlakukan potential loss atau kerugian yang mungkin terjadi di masa depan, tetapi belum terjadi. Sebab, potential loss mengandung asas ketidakpastian hukum. “Apabila cara ini digunakan oleh penyidik untuk mentersangkakan orang maka penyidik  memiliki itikad tidak baik dalam penegakan hukum," ujar ahli. 

Kuasa hukum terdakwa notaris Nafiaturrohmah yakni Dr Heru Nugroho SH MH usai sidang mengatakan dari keterangan ahli pidana maupun perpajakan dapat diambil kesimpulan bahwa syarat formil dalam perkara yang menjerat kliennya tidak terpenuhi. 

Dari keterangan ahli yang berkaitan dengan kerugian negara, kata dia, juga harus faktual. Sehingga apabila hanya berpotensi untuk merugikan negara maka tidak bisa dibawa ke ranah pidana. 

“Kerugian negara itu harus nyata, sementara kalau kita bicara masalah kerugian dalam perkara ini berkaitan dengan BPHTB ini berkaitan dengan pajak sementara sampai hari ini tidak ada surat dari dirjen pajak yang mengatakan ada kurang bayar pajak. Artinya tidak bisa dikatakan itu kerugian negara," ujar Heru.

Heru menambahkan, para pihak dalam hal ini baik pembeli maupun penjual lahan tidak mempermasalahkan hal ini. Kalaupun ada pihak lain yang mempermasalahkan maka harus melalui proses hukum.

“Dari keterangan ahli perpajakan mengatakan bahwa dalam prinsip perpajakan apabila ada pelanggaran pajak maka tidak bisa dikatakan tindak pidana korupsi,” ujarnya.

“Sebab, dalam perpajakan ada prinsip ultimum remedium adalah prinsip dalam hukum pajak yang berarti bahwa sanksi pidana hanya dapat diterapkan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) jika upaya administratif dan atau upaya hukum lainnya tidak efektif dalam menyelesaikan kasus pajak,” imbuhnya.

Heru juga menerangkan, ahli perpajakan dalam persidangan menjelaskan dan disebutkan secara real misalnya ada harga pasar Rp250 ribu/meter, akta pelepasan Rp350 ribu dan petani menerima Rp400 ribu/meter. 

Kalaupun itu benar dibuktikan melalui pemeriksaan terlebih dahulu dan kemudian ditetapkan surat ketetapan pajak daerah kurang bayar dari badan keuangan untuk BPHTB nya dan untuk keterangan kurang bayar PPH dari Dirjen pajak maka itu tidak bisa masuk tindak pidana korupsi. “Kalau wajib pajak tidak terima maka bisa mengajukan ke pengadilan sengketa pajak,” jelasnya.

Editor : Arif Ardliyanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network