Melalui perspektif HAM, setiap individu dapat jaminan membentuk keluarga dari pernikahan tanpa melihat status dan agama.
Ada dua lapis persoalan, instrumen HAM internasional memberi garansi individu hak dasar untuk membentuk keluarga.
Namun, aturan domestik membuka ruang tafsir membatasi hak-hak itu hanya berdasarkan kesamaan agama.
"Terkait dengan celah pasal karet UU No 1 tahun 1974, mengacu pada UU No 23 tahun 2006 pasal 35a, pernikahan beda agama bisa dilakukan melalui pengetahuan pengadilan dan mendapat catatan administrasi kependudukan (Adminduk), tentu dilakukan menurut agama dan kepercayaan," ujarnya.
Oleh kelompok Islam tertentu, poin tersebut mendapat perhatian.
Pasal terkait Adminduk itu dianggap memberi celah bagi rekognisi pernikahan beda agama di Indonesia.
Ketika UU Pernikahan tidak memberi ruang, ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan.
"Sementara teman kita dari ruang sebelah (golongan Islam yang lain, Red) mengupayakan yudisial review terhadap UU No 23 tahun 2006 pasal 35a. Karena pasal ini satu-satunya ruang atau celah yang memungkinkan (dipakai, Red) individu dan masyarakat yang pro terhadap isu pernikahan beda agama," tuturnya.
"Ada upaya hukum yang sama untuk semakin menutup ruang. Ada arus lain, selain arus yang kita ciptakan untuk advokasi. Ada arus dari kelompok sebelah (Islam golongan lain, Red), untuk semakin menutup semua peluang pernikahan beda agama bisa dilakukan di Indonesia," imbuhnya.
Editor : Ali Masduki