Sebuah peristiwa tragis terjadi saat acara untuk menghibur raja. Bhre Pamotan berada di atas perahu yang mengarungi tengah segara (lautan), tiba-tiba kehilangan kendali dan akhirnya tenggelam. "Ia melompat dan mati tenggelam," seperti yang dikutip dari Atlas Wali Songo.
Peristiwa kematian Raja Majapahit Bhre Pamotan yang tenggelam di segara menyebabkan namanya menjadi Bhre Pamotan Sang Sinagara (Bhre Pamotan yang melempar diri ke segara), dan abu jenazahnya dicandikan di Sepang.
Bhre Pamotan meninggalkan empat orang putra dan seorang puteri, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, Bhre Kretabhumi, dan Parameswari Lasem.
Setelah kematian Bhre Pamotan, Kerajaan Majapahit mengalami masa tanpa raja selama tiga tahun (1453-1456 Masehi) sebelum Bhre Wengker naik tahta pada tahun 1456 Masehi.
Bhre Wengker mengambil gelar Hyang Purwasisesa dan meneruskan kebijakan ayahandanya dengan memberikan kedudukan penting kepada kerabat-kerabatnya yang beragama Islam.
Selama masa pemerintahan Hyang Purwasisesa, Raden Patah, saudara lain dari pihak ibu, diangkat menjadi Pecat Tandha di Bintara, di bawah Adipati Demak Lembu Sora.
Sementara Raden Kusen, putra Arya Damar, diangkat menjadi Pecat Tandha di Terung, dan Bhattara Katong, saudara lain yang beragama Islam, menjadi raja di Wengker (Ponorogo).
Raden Paku, yang merupakan Bhre Wirabumi, diangkat menjadi raja muda di Giri dengan gelar Prabu Satmata. Kelak Raden Patah, yang menahbiskan diri sebagai Sultan Demak, menggulingkan kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Hyang Purwasisesa memerintah selama sepuluh tahun dan meninggal pada tahun 1466 Masehi, dan didarmakan di Puri, seperti yang dikutip dari Atlas Wali Songo.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta