Dampak Ekonomi yang Meluas
Abdul Gafur juga menyoroti potensi peningkatan rokok ilegal. Saat ini, peredaran rokok ilegal mencapai 10 miliar batang per tahun, sementara produksi rokok oleh pengusaha skala menengah hanya 3 miliar batang per tahun. Ini menunjukkan tingginya risiko yang dihadapi industri rokok legal jika RPMK diberlakukan.
“Biaya produksi rokok ilegal tanpa cukai hanya Rp5.000 per 20 batang, sementara rokok legal mencapai Rp22.000 per 20 batang. Dari harga rokok legal, 70 persen masuk ke kas negara melalui cukai, dan kami hanya mendapat 30 persen yang harus mencakup biaya produksi. Dengan aturan baru ini, margin keuntungan semakin kecil,” terangnya.
Sementara itu, Sekjen Formasi, JP Suhardjo, menegaskan bahwa asosiasi tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan RPMK ini. Ia merasa bahwa pelaku industri rokok selalu disudutkan dengan narasi dampak negatif rokok terhadap kesehatan, seperti serangan jantung dan kanker.
“Kami seharusnya dilibatkan dalam diskusi soal kebijakan ini. Rokok selalu dianggap penyebab utama berbagai penyakit, tetapi mengapa produk lain seperti gula, yang juga bisa menyebabkan kematian, tidak dikenakan cukai?” protes Suhardjo.
Ia berharap Kementerian Kesehatan bisa lebih bijaksana dalam membuat kebijakan terkait rokok, mengingat dampaknya tidak hanya pada kesehatan, tetapi juga menyangkut mata pencaharian banyak orang dari petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang kecil.
“Industri rokok bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika aturan ini diterapkan, itu sama saja dengan pembunuhan sistematis terhadap industri kami,” pungkasnya.
Editor : Ali Masduki
Artikel Terkait