Mulai dari Hegel tentang proses evolusi rasio manusia, proses keunggulan rasio melawan kekuatan-kekuatan irasional (Comte), proses evolusi organisme (Darwin), proses lahir, tumbuh dan runtuhnya peradaban (Spengler & Toynbee), hingga perjuangan kelas (Marx), menunjukkan idea of progress mewarnai pemikiran khas zaman itu.
Namun di pertengahan abad muncul perubahan signifikan cara memandang sejarah. Bersamaan makin problematisnya objektivitas di area epistemologis, dipersoalkan pula konsep objektivitas sejarah. Meski de facto bermain di wilayah rekonstruksi atau sekadar mengiru masa lalu, sejarah bergeser menuju wilayah konstruksi yang produktif.
Eropa memutuskan untuk menggelar operasi Hongi Tochten atau disebut dengan pelayaran hongi
Lemah dalam klaim objektivitas, membuat sejarah menjadi kegiatan “mencipta masa lalu”, meski berlandaskan teks dan bukti. Sebuah proses konstruksi naratif bersifat intertekstual, tafsir atas tafsir yang tidak sederhana, dan pemilihan peristiwa dan tokoh yang dianggap bernilai sangat ditentukan oleh visi teoritis dan kepentingan tertentu. Sejarah kini menjadi kegiatan menafsir, menata, dan mengelola masa lalu.
Beruntung, kecenderungan abad 21 membawa kita keluar dari telikungan ideologis, metafisika yang abstrak, dan positivisme ilmiah. Kita bergerak menuju pengalaman yang lebih konkret, dinamis, dan kompleks. Itu sebabnya kita perlu mendengar petuah pemikir posmodern Edward Soja dalam buku Postmodern Geographies yang mengatakan, “untuk manusia modern kesadaran ruang (geografis) sama pentingnya dengan kesadaran waktu (sejarah)”.
Editor : Arif Ardliyanto